Kelompok kecil/Suku yang percaya adat adalah tradisi lokal

Sekedar berbagi cerita
Oleh: Dus Fotografer
Suku Sawu, yang mendiami wilayah Rongga, Kecamatan Kota Komba, Manggarai Timur, Flores NTT masih menyimpan kepercayaan purba. Salah satunya adalah pemunculan mata air di atas permukaan diyakini sebagai pemberian Mori Ngara atau Embu Nusi (Maha pencipta). Bila ada yang menemukan mata air seperti itu maka ia harus melaporkan kepada ketua adat. 

Selanjutnya ketua adat akan mengundang semua penduduk kampung untuk menggelar ritual adat dengan mengorbankan seekor ayam jantan untuk memohon kepada "Mori Ngara"(Pencipta alam semesta) agar mereka dapat mengkonsumsi air tersebut tanpa mengalami pengaruh negatif.
Setelah upacara adat selesai, ketua adat mengambil air tersebut lalu akan memerciknya kepada setiap orang yang hadir dan selanjutnya ia meminum seteguk air. Bila tidak ada efek samping, maka selanjutnya air tersebut dianggap layak untuk dikonsumsi semua penduduk kampung. 


Kepercayaan serupa juga mentradisi dalam masyarakat Rongga, bahkan terdapt di beberapa wilayah di Nusa Tenggara Timur. Umumnya mereka yakin bahwa setiap mata air atau sungai memiliki roh penjaga. Karena itu, siapa saja orang baru yang datang atau melewati sungai tersebut terlebih ia meminta ijin pada sang penjaga air. 

Biasanya orang yang sudah pernah mengunjungi tempat itu memercik pendatang baru itu dengan mantra khusus berupa penjelasan kepada Mori Ngara atau Embu Nusi yang menyampaikan permintaan ijin kepada penjaga air untuk dapat digunakan atau dilewati oleh orang yang bersangkutan. 

Bila hal ini tidak dilakukan, malapetaka atau penyakit akan menimpa orang bersangkutan. Dan, bila kelak hal itu terjadi, maka yang bersangkutan harus secepat mungkin menyampaikan hal itu kepada ketua adat agar ditebus melalui ritual sajian kepada penjaga tanah untuk pemulihan penyakit atau mala petaka yang diterima. 

Orang Sawu dan etnis Rongga cenderung percaya bahwa setiap benda atau tempat memiliki roh penjaganya. Bahkan alam bisa murka kepada manusia melalui peristiwa bencana alam atau wabah penyakit. 

Untuk mengantisipasi sekaligus menjaga keharmonisan dengan alam, biasanya ketua adat selalu menghimbau kepada setiap orang tua untuk sering menasehati kepada anak-anaknya agar lebih berhati-hati karena naga tanah atau penguasa tanah cenderung/ seringkali mengeluarkan energi negatif yang berlebihan, sehingga mempengaruhi keadaan emosional manusia yang berpotensi mengacaukan hubungan persaudaraan keluarga atau masyarakat. 

Untuk menghindari pengaruh negatif itu maka penduduk kampung mengadakan ritual Tarian Caci dari bulan Juli - Oktober di beberapa tempat yang berbeda sebagai bentuk pelampiasan atau penyaluran emosi. Dalam tarian ini, pasangan pria saling memukul lawannya dengan peralatan cambuk dan alat penangkis yang masing-masing dipakai secara bergiliran. Untuk menyemangati pria, para wanita memberi spirit dengan suara keras dengan tujuan membuang energi negatif yang berkecamuk dalam hati. 

Tradisi caci masih melekat di dalam diri warga kampung Wokopau, wolo Mboro, WoloBaga, dan Wae soke, desa Bamo, Manggarai timur sebagai bentuk ungkapan syukur pasca panen.(Dus Fotografer)